Menyambung Tali Persaudaraan
Oleh: Jalaluddin Rakhmat
Abdullah bin Abi Awfa bercerita: Kami waktu itu sedang berkumpul bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Aalihi wasallam. Tiba-tiba beliau berkata: “Janganlah duduk bersamaku hari ini orang yang memutuskan persaudaraan.” Segera seorang pemuda berdiri meninggalkan majelis Rasulullah. Rupanya sudah lama ia bertengkar dengan bibinya. Ia lalu meminta maaf kepada bibinya dan bibinya pun memaafkannya. Setelah itu, barulah ia kembali kepada majelis Nabi. Nabi Saw berkata: “Sesungguhnya rahmat Allah tidak akan turun kepada suatu kaum yang di situ ada orang yang memutuskan persaudaraan. (Al-Targhib 3:345)
Perhatikanlah keluarga kita, kaum yang paling kecil. Bila di dalamnya ada beberapa orang yang sudah tidak saling menegur, sudah saling menjauhi, apalagi kalau di belakang saling menohok dan memfitnah, maka rahmat Allah akan dijauhkan dari seluruh anggota keluarga itu. Kemudian, perhatikan umat Islam Indonesia, kaum yang lebih luas. Bila di dalamnya masih ada kelompok yang mengkafirkan kelompok yang lain, atau membentuk jamaah tersendiri dan mengasingkan diri dari jamaah yang lain, atau tidak mau bershalat jamaah degnan kelompok yang pendapatnya berbeda, maka seluruh umat akan terputus dari rahmat Allah SWT.
“Maukah kalian aku tunjuki amal yang lebih besar pahalanya dari shalat dan puasa? Tanya Rasulullah Sawaw kepada sahabat-sahabatnya.” “Tentu saja,” jawab mereka. Rasulullah menjawab, “Engkau damaikan orang-orang yang bertengkar.” Menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang berpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam dan mengukuhkan ukhuwah di antara mereka adalah amal shaleh yang besar pahalanya. “Barang siapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rizkinya, hendaklah ia menyambungkan persaudaraan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Abu Dzar adalah sahabat yang sangat dikasihi Nabi. Ialah orang yang pertama mengucapkan salam Islam di zaman jahiliah. Ia pernah menahan rasa hausnya, walaupun kantor air ia gantungkan di pinggangnya dan baru akan meminum air itu, setelah Rasulullah Sawaw meminumnya. Ia dipuji Nabi sebagai sahabat yang lidahnya paling jujur. Ia hidup sederhana dan bergabung dengan orang-orang yang sederhana. Islam telah mengubah masa lalunya sebagai pemberontak menjadi masa kininya sebagai pejuang.
Banyaklah nasihat Nabi kepada Abu Dzar. Salah satu di antaranya adalah: “Kekasihku Nabi yang mulia berwasiat kepadaku beberapa hal yang baik: Ia berwasiat agar aku tidak memandang orang yang di atasku dan hendaknya memandang orang yang dibawahku. Ia mewasiatkan kepadaku untuk menyayangi orang miskin dan akrab dengan mereka. Ia mewasiatkan kepadaku untuk menyambung persaudaraan walaupun dengan orang yang menjauhiku. Ia mewasiatkan kepadaku untuk tidak takut kepada kecaman orang yang mengecam dalam menegakkan agama Allah. Ia mewasiatkan kepadaku untuk mengatakan yang benar walaupun pahit. Dan akhirnya ia mewasiatkan kepadaku untuk memperbanyak La hawla wa la quwwata illa billah, karena kalimat itu termasuk perbendaharaan surga.” (HR. Al-Thabrani dan Ibnu Hiban; lihat juga Al-Targhib 3:337)
Salam
ya, saya tasyayu’, mudah2an bisa istiqomah
waalaikum salam
hehe.. kontras sepertinya
Syiah: Moderat dan Fundamental
Syiah: Fiqh dan Syiah Rasional
Syiah: Syiah IJABI dan Non IJABI
Hik…. penglompokan Syiah= penghancuran Syiah
Nilai: Syiah sedang dalam Kontra dan dalam titik penghancuran.
Sebab..?? adanya penglompokkan Syiah
Saya selalu kagum dengan tulisan-2 kang Jalal, setiap kali membaca, terasa ada pencerahan dalam kalbu dan otak saya. Namun barangkali ada tanggapan atas uneg-2 saya ini..
Bagaimana kita memandang sikap Fatimah ketika memutuskan komunikasi (persaudaraan sesama muslim?) dengan Abu Bakar, bahkan -hal yg amat memilukan saya- para sahabat yg tdk sependapat tdk boleh mengantarkan jenazahnya. Sungguh tragis, putri Rasulullah terkasih, yang paling awal tahu bahwa Rasulullah akan segera menghadap sang Khaliq dan ia yang segera menyusulnya, harus mengambil sikap demikian.
@Maulana
saya kok lebih sepakat syi’ah itu tidak sedang mengalami kehancuran.
@bisma
Terima kasih atas pertanyaannya yang sangat bagus sekali.
Menurut saya, orang yang telah menyakiti hati Fatimah, maka ia telah menyakiti hati Rasulullah. orang yang telah menyakiti hati Rasulullah, maka Allah akan melaknatnya. Mungkin seperti itu pertimbangan Sayyidah Fatimah. wallahu a’lam.
Assalamualaikum
Jika kita membuka Kamus Bahasa Arab untuk melihat definisi SYIAH; kita akan menemukan bahwa SYIAH = GOLONGAN. Ketika Nabi Muhammad masih hidub; masyarakat mengunakan kosa kata SYIAH Rasulullah untuk golongan Nabi Muhammad; dan SYIAH Jahilyah untuk golongan masyarakat musyrikun (mereka yang menyembah patung).
Kosa Kata SYIAH tertulis 2X di dalam AlQuran yaitu Q 37:83 untuk golongan Nabi Ibrahim dan Nabi Nuh dan Q 28: 15 untuk golongan Nabi Musa. Syiah adalah golongan Nabi Ibrahim, Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Muhammad dan semua nabi.
ALQURAN 37:83
dan sesungguhnya Ibrahim adalah SYIAH (golongannya) Nuh
ALQURAN 3:67
Ibrahim bukan orang Yahudi dan bukan orang Nasrani; tetapi dia adalah seorang Muslim yang berserah diri kepada Allah; dan dia bukan termasuk golongan orang2 musyrik.
ALQURAN 16:123
Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim yang berserah diri kepada Allah (Hanif)!” dan Ibrahim bukan bukan termasuk orang yang memperbanyak Tuhan.
Ketika Ali Ibn Tholib berkuasa; definisi SYIAH berubah menjadi Syiah Ali dan Syiah Muawiyah; karena terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Muawiyah Ibn Abu Sufyan untuk menggulingkan Ali IBn Tholib. Perang Siffin antara Ali Ibn Tholib melawan Muawiyah Ibn Abu Sufyan merubah definisi SYIAH.
Pengikut2 madhab Ahlul Sunnah (Sunni) membuat kesalahan besar; karena mereka mengira bahwa SYIAH adalah agama yang diajarkan oleh Ali Ibn Tholib; sehingga kosa kata SYIAH selalu dihubungkan dengan pengikut2 Ali Ibn Tholib; bukan pengikut2 Nabi Muhammad.
Padahal sebelum ada madhab Ahlul Sunnah (Sunni); kosa kata SYIAH lebih dikenal oleh Nabi Muhammad dan para sahabat pada awal sejarah Islam.
Maaf..mau nimbrung sedikit…
Pemutusan hubungan itu ada kalanya diperlukan untuk menunjukkan sikap, dan jangan dimaknai secara umum. Karena setiap hubungan memiliki derajat dan kualitas.
Oleh karena itu, pemutusan hubungan Sayyidah Fatimah as dengan Abu Bakar seharusnya justru menjadi tanda tanya bagi kita yang mencintainya.
Artinya, seandainya Abu Bakar itu orang saleh, maka mungkinkah Sayyidah Fatimah as yang merupakan putri manusia terbaik dan Rasul terakhir bagi umat manusia ini melakukan tindakan itu? Apalagi hanya karena sepetak tanah??
Bukankah dia termasuk Ahlulbayt (QS. 33:33) Nabi saw yang sdh disucikan oleh Allah swt?
Pointnya…jika kita malah menyangsikan keluhuran budi pekerti Sayyidah alam semesta ini, lalu justru lebih husnu dzan kepada Abu Bakar…menurut saya, hal ini malah aneh?
Alasannya, jika orang yang secata nyata sdh disucikan oleh ALlah swt di dalam Qur’an, lalu dia malah melanggar Qur’an itu sendiri…lalu siapakah di antara kita yang lebih bisa menjalankan Qur’an lebih baik dari mereka??…Abu Bakar???
Padahal Qur’an dan Ahlulbayt Nabi saw itu adalah tsaqalain…
Untuk itu, demi kecintaan saya kepada Sayyidah Fatimah as, maka secara resmi, saya punjuga menyatakan pemutusan hubungan apapun yang terkait sama Abu Bakar!! Without any, tiny, winy, hesitation…
Any one with me…???
Hiburlah bunda Fatimah dengan bakti tanpa lelah menyebarkan ajaran cinta Ahlulbayt.
mau bergabung?
Tulisan yang cantik dari Kang Jalal. Banyak tulisan yang saya sukai karena mewarnai akal dan iman. Sebab lain, ya karena ingin jadi orang beriman gitu….
Saya suka dengan gaya penulisan beliau yang nyantai tetapi mendalam.
@mesiah
Komentar bagus, saya sependapat, pada kodisi dan kasus tertentu, pemutusan hubungan harus dilakukan untuk menunjukkan suatu sikap.
Namun, apakah hanya karena sepetak tanah (tanah fadak) harus dilakukan pemutusan hubungan?
Saya berkeyakinan tidak! Ada alasan-2 lain yang saya meyakini lebih signifikan dari sekedar sepetak tanah.
Ketidak patuhan pada Rasul utk berangkat dg ekspedisi Usamah, Pengambilan wilayah Imamah secara paksa, luapan emosi Umar (“intrik?”) atas wafatnya Rasulullah, dan diikuti pencabutan hak “penguasaan fisik” atas harta Rasul, jelas, menunjukkan ada skenario yang tersusun dengan rapi untuk memotong kaitan nubuwah dan imamah dalam satu kabilah (bani Hasyim). Saya kira hal tersebut bisa jadi merupakan alasan Fatimah mengambil sikap demikian.
Hal-2 inilah yang sesungguhnya sy inginkan bisa tampil dalam kajian dan diskusi di forum ini. Ada satu kajian Ali Syari’ati yg bagus mengulas hal tersebut, namun sayangnya saya belum bisa memahami secara penuh dalam alam pikir yang “Njawani”. Semoga diskusi ini terus berkembang dan bisa memunculkan pandangan yang mencerahkan. By the way, blog ini bagus dan artikelnya berbobot.
@bisma
Jika penguasa saat itu sudah berani mengambil hak keluarga Nabi, lalu bagaimana jika penguasa mengambil hak kaum muslimin yang lainnya? tentunya tanpa pikir panjang penguasa akan mengambil hak-hak yang bukan menjadi haknya.