Oleh: Yasser Arafat, SH

Indonesia sebagai negara hukum dan berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa maka Indonesia harus menjunjung tinggi supremasi hukum serta meyakini bahwa nilai-nilai religius merupakan salah satu sumber inspirasi bagi negara dalam menjalankan kewajibannya. Salah satu ciri negara hukum ialah mengakui dan menjamin adanya Hak Asasi Manusia. Salah satu Hak Asasi Manusia yang penting untuk dijamin keberadaannya ialah hak untuk beragama.

Sebagai negara hukum, Indonesia wajib menjaminnya dalam konstitusi. Namun yang patut digarisbawahi bahwa kewenangan dan kewajiban yang dimiliki oleh negara kaitannya dengan agama hanyalah menjamin kebebasan warga negaranya untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang diyakininya. Negara sama sekali tidak diberikan kewenangan dan kewajiban untuk mengakui, melindungi, dan menjamin keberadaan agama tertentu. Jika negara ini kemudian melakukan perlakuan seperti itu, maka sebetulnya negara telah melakukan perbuatan yang inkonstitusional karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar RI.

Itulah realitas yang akan kita jumpai jika kita menelaah Pasal 1 UU Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaaan Agama. Pada Pasal 1 UU a quo disebutkan: ”Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia .

Pada Pasal tersebut terdapat klausula ”agama yang dianut di Indonesia”. Pada penjelasan ayat tersebut dijelaskan bahwa penjelasan klausala ”agama yang dianut di Indonesia” ialah ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius).

Jadi dari aturan tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Indonesia ternyata mengakui, melindungi, dan menjamin keberadaan agama tertentu dalam hal ini keenam agama di atas. Adapun alasan pengakuan tersebut didasarkan pada sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Keenam macam agama itu merupakan agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia.

Landasan yang dijadikan pijakan bagi perumus aturan tersebut bukanlah landasan yuridis melainkan lebih kepada landasan historis agama yang berkembang di Indonesia. Setidaknya itulah yang penulis tangkap dari penjelasan klausala “agama yang dianut di Indonesia”.

Menurut penulis, aturan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Apalagi jika kita kritisi landasan historis yang dijadikan landasan dirumuskannya aturan itu.

Hal yang patut kita kritisi dari persoalan ini ialah apakah yang dijadikan pertimbangan bagi perumus atas diakuinya agama tertentu itu berdasarkan besar atau banyaknya jumlah penganut suatu agama? Lalu apa ukuran besar atau banyaknya jumlah pemeluk suatu agama untuk kemudian dianggap sebagai agama yang diakui keberadaannya secara yuridis oleh negara?

Maka jawaban dari kedua pertanyaan tersebut bahwa tidak ada pertimbangan dan ukuran yang jelas lagi logis, yang dijadikan pijakan bagi negara untuk merumuskan aturan tersebut. Alasan-alasan yang diajukan lebih bersifat asumtif dan tidak memiliki ukuran jelas. Apalagi jika kita hadapkan alasan tersebut pada kajian historis perkembangan agama yang lebih komprehensif, maka akan kita dapati kesimpulan bahwa sebetulnya agama-agama yang diakui keberadaannya oleh pemerintah melalui aturan ini merupakan agama-agama yang diimpor dari luar Indonesia. Contoh misalnya agama Islam, yang berasal dari para pedagang timur tengah dan india yang berdagang di Indonesia. Tentu kita masih ingat penjajahan Belanda dengan 3 misinya yaitu Gold, Glory, Gospel. Gospel ialah misi menyebarkan agama kristen.

Perlakuan khusus terhadap keenam agama yang diakui secara yuridis oleh negara memberikan konsekuensi mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 UUD 1945, keenam agama tersebut mendapat bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh Pasal 1 UU No. 1/PNPS/Tahun 1965. Sebaliknya, agama-agama selain keenam agama dimaksud mendapat pengecualian (exclusion), pembedaan (distinction), serta pembatasan (restriction) dengan berlakunya ketentuan Pasal 1 UU a quo, hal mana dapat dilihat dari penjelasan “agama-agama tersebut dibiarkan adanya, asal tidak mengganggu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain”.

Menurut penulis, adanya pengecualian, pembedaan, serta pembatasan tersebut merupakan bentuk diskriminasi dan itu akan menghasilkan ketidakadilan yang pada perkembangannya nanti hanya akan menghasilkan ketidakpuasan yang berujung pada kehancuran.

Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia diharuskan memperlakukan semuanya memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Menurut A.V Dicey tiga ciri penting negara hukum ialah Hak Asasi Manusia dijamin melalui Undang-Undang, Persamaan kedudukan di hadapan hukum, Supremasi aturan-aturan hukum dan tidak adanya kesewenang-wenangan tanpa aturan yang jelas

Pasal 1 UU No. 1/PNPS/Tahun 1965 bertentangan prinsip persamaan yang ada pada Pasal 27 ayat (1) UUD RI yaitu “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, Pasal 28D ayat (1) yaitu “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di depan hukum”, dan Pasal 28I ayat (2) yang menyatakan “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakukan yang diskriminatif itu”. Dengan adanya pengakuan terhadap keenam agama dan melakukan pembedaan terhadap agama lain, maka sebetulnya negara telah melanggar  pasal-pasal yang ada di UUD 1945 tersebut.

Terakhir, yang perlu ditegaskan sekali lagi bahwa negara tidak menjamin keberadaan agama tertentu. Tetapi berdasarkan UUD RI, negara hanya menjamin hak warga negaranya untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing.[]