Tanggapan Atas Artikel “Secuil Koreksi atas AXIOLOGI Filsafat”

Artikel “Secuil Koreksi atas AXIOLOGI Filsafat” tersebut ditulis oleh Sdr. Umbara dan dimat di http://www.gemapembebasan.or.id/?pilih=lihat&id=519.

Berikut ini artikelnya:

Secuil Koreksi atas AXIOLOGI Filsafat

tengkorak.jpgFilsafat merupakan karya pemikiran manusia yang dianggap barat menempati posisi sebagai induk ilmu pengetahuan. Oleh karena itu filsafat dikenal dengan julukan regina sentrium (ratu segala ilmu). Cakupan filsafat yang tidak memiliki batas menimbulkan persoalan tersendiri, terutama dalam pendefisian filsafat itu sendiri. filsafat sebagai turunan dari aktifitas berfikir manusia yang berfungsi menjelaskan makna berbagai simbol, ternyata tak mampu menjelaskan definisinya sendiri. Kalaupun ada maka definisi yang dipergunakan tergantung kepada pendekatan masing – masing yang mendefinisikannya. Dengan kondisi filsafat seperti inilah tidak jarang para pemikir islam terjebak dalam cara berfikir filsafat. Dan bahkan lebih celakanya mereka berupaya mendisikusikan islam dengan filsafat dan bahkan ada yang mengatakan, islamlah filsafat sejati.

Untuk mencermati dan mengoreksi filsafat, kita tidak bisa hanya memahami filsafat sebagian/dari luarnya saja. Harus pada tahap subtansial berdirinya pemikiran filsafat. Sama seperti jika kita ingin menghukumi demokrasi, tidak bisa melihat demokrasi sebatas musyawarahnya saja. Akan tetapi secara subtansial juga harus dapat dikaji agar kita mampu mengoreksi kesalahannya.

Dalam pembahasan ini sedikit di jelaskan bahwa bagaimana pemikir barat mengelompokkan lapangan penyelidikan filsafat. Upaya mereka terhadap pengelompokan ini bertujuan agar kaum muslimin di dunia ini dapat dengan mudah mempelajari( terjebak) dalam filsafat. Karena pengelompokan ini menjadi acuan dalam menentukan objek dan subjek filsafat, dan norma filsafat.

Mereka berdalih bahwa bahwa ruang lingkup filsafat yang amat luas dan tidak terbatas objeknya, maka mereka menganggap perlu adanya pembidangan untuk intensifikasi penyelidikan dan memudahkan pemahaman. Maka di susunlah pandangan sistematika filsafat. Oswal Culpe menjelaskan bahwa : pembagian sistematika filsafat selalu bergantung kepada pengertian filsafat itu sendiri. Pembedaan dalam definisi biasanya akan membuat pula cabang filsafat.

Banyak ilmuwan menentukan ruang lingkup filsafat, penulis menilai secara umum mereka membagi dalam 4 bagian. Yaitu : kosmologi, antologi, epistimologi, dan axiologi. Dengan ruang lingkup yang cukup luas itu mereka “bersepakat” bahwa semuanya berawal dari pembahasan axiologi.

Axiologi

Axiologi berasal dari kata – kata yunani. axios = nilai dan logos berarti pandangan/teori. Secara terminologi axiologi adalah nilai akhir (ultimate value) kebenaran. Dalam bidang ini biasanya mereka bertanya apakah nilai itu ide di dalam pikiran (internal) manusia atau sebenrnya berada diluar (ekternal) manusia, yang bersifat independen terlepas dari individu yang menaggapinya? Dan apakah yang menjadi norma kebenaran dan norma kebaikan? Kapan setiap konsep itu dikatakan benar atau salah? Mengapa suatu prilaku itu dianggap benar? Nah pertanyaan – pertanyaan inilah yang menjadikan mereka mencoba mengkaji sebuah konsep kebenaran dan menjadikan konsep kebenaran yang mereka jadikan tersebut sebagai standar/landasan dalam berfilsafat.

Bidang axiologi inilah yang berperan penting untuk melanggengkan ide filsafat ini di abad 17-an. Dalam pembahasan axiologi kebenaran menjadi objek logika dan metodologi filsafat ilmu yang berusaha menjelaskan syarat – syarat yang harus di miliki agar sebuah konsepsi di katakan benar. Patut digarisbawahi bahwa dalam bidang aksiologi tidak dikaji sesuatu “bagaimana adanya” tetapi mengkaji sesuatu “bagaimana seharusnya”, dengan berpatokan kepada kebenaran yang di mereka (axiologi) definisikan. Dengan demikian disadari atau tidak, jika kita berupaya untuk berfilsafat maka kita telah terjebak dalam konsep kebenaran yang Axiologi definisikan. Segala sesuatu harus mengikuti norma kebenaran filsafat, kalau mau dikatakan para pemikir filsafat. Oleh karena salah satu dasar kekeliruan dalam berfilsafat adalah membuat norma kebenaran yang menjadi takaran pemikiran yang benar, bagi prilaku yang baik. sehingga atas dasar seperti ini kita kaum muslimin kebanyakan terjebak dalam filsafat dengan mengikuti norma kebenaran filsafat.

Norma kebenaran dalam filsafat

Para filosof secara umum berpendapat bahwa kebenaran itu bertingkat – tingkat dimana kualitas dan sifatnya berbeda. Mereka mengatakan perbedaan/tingkatan ini bergantung kepada potensi subjek yang menyadari atau menangkap kebenaran itu, penulis menemukan beberapa konsep kebenaran dalam kajian filsafat, yaitu :

1. kebenaran yang diperoleh melalui pancaindra. Tingkat yang sangat sederhana karena tahapannya baru kepada tahap mencapai gerbang kesadaran manusia.

2. kebenaran ilmiah berdasarkan pengalaman yang diperoleh melalui indra kemudian diolah dengan “rasio”. Kebenaran ilmiah dianggap objektif, tapi tidak seluruhnya benar terutama pada ilmu sosial dan sangat relatif dan subjektif. Dan bahkan dalam ilmu eksakta juga bisa terjadi demikian, Karena terpengaruh oleh faktor lingkungan serta kondisi alam dan sosial. (tergantung kepada metode ilmiah yang di pakai).

3. kebenaran filosofis, berdasarkan hasil pengalaman dan pengamatan pikiran dan kritis disertai renungan secara mendalam, murni, sistematis dan komprehensif.

4. kebenaran religius. Kebenaran mutlak dan diyakini tanpa ada pertimbangan lingkungan.

Dengan demikian kalangan filsafat menyatakan bahwa masalah kebenaran adalah masalah yang rumit dan abstrak. Dalam mempertahankan teori kebenaran ini para filosof mempergunakan argumentasi teori mereka atas kebenaran, yaitu:

a.Teori koherensi

teori ini sering juga disebut teori konsistensi. Artinya suatu itu benar berdasarkan adanya ketetapan antara ide atau kesan seseorang dengan orang lain untuk suatu objek yang sama. Maksudnya sesuatu dikatakan benar jika konsisten dengan pernyataan lain yang diterima sebagai benar. Makin konsisten ide yang ditangkap beberapa subjek dengan objek yang sama maka makin benarlah ide itu. Misalnya demokrasi.

b.Teori pragmatisme

menurut teori ini kebenaran adalah suatu yang praktis yang dapat membawa manfaat. Yaitu sesuatu proses tindakan dimana kebenaran diukur menurut efeknya secara praktis. Pragmatisme berusaha menguji kebenaran suatu pendapat, fakta, teori atau apasaja melalui konskuensi dari praktek pelaksanaannya. Ide itu belum dikatakan benar atau salah jika belum di uji di dalam prakteknya. Ia dikatakan benar jika mampu menyelesaikan problem yang ada. Jadi kebenaran di sini sangat relatif.

Seorang tokoh pragmatisme Charles S.Peire (1839 – 1914) tokoh pragmatisme mengatakan bahwa kebenaran itu adalah fakta efek yang dirasakan bukan ide itu sendiri. Jika efek dirasakan menghantarkan kepada kesenangan maka itu adalah benar. W.James (1824 – 1910) juga mengatakan bahwa kriteria kebenaran hendaknya dicari dalam taraf seberapa jauh kita secara pribadi dan secara pikiran merasa puas dalam persoalan tersebut.

Inilah beberapa pandangan tentang kebenaran yang dipahami oleh kalangan filosof. Semua itu memberi paradigma berfikir yang nyeleneh untuk memahami kebenaran. Dengan memahamkan kerumitan kebenaran inilah mereka membius kaum muslimin untuk mendefinisikan sesuatu dengan melewati batas kemampuan manusia. Karena mereka berpendapat bahwa kebenaran di dunia ini tidak ada, yang ada hanyalah mendekati kebenaran.

Hal ini diperburuk lagi oleh pemahaman mereka atas sumber awal pengetahuan ditambah lagi mereka tidak mampu menjelaskan cara berfikir dengan benar dan baik kaitannya dengan sumber dan batasan pengetahuan hasil pemikiran. Dalam menjawab pertanyaan tentang pengetahuan, mereka menggunakan beberapa argumentasi yang sesungguhnya semua berawal atas kekeliruan awal mereka atas pandangan kebenaran. Sumber awal Pengetahuan menurut mereka adalah panca indra (empirisme) dan dari kalangan rasionalisme menyatakan pengetahuan berawal dari akal. Hal inilah yang membuat mereka terjebak dalam lingkaran pemikiran menyesatkan karena sejatinya mereka tidak memiliki pemahaman bahwa sesuatu yang ada di bumi ini (fakta) adalah syarat terbentuknya pemikiran, dan yang ada sebelum fakta berarti bukan pemikiran dan bukan fakta.

Pandangan Islam Tentang Kebenaran

Berbagai kalangan mengatakan bahwa teori korespondensi adalah pemahaman yang tepat terhadap kebenaran. Korespondensi berarti hubungan ( antara subjek dengan objek ). Kesesuaian subjek dan objeklah yang dikatakan sebuah kebenaran. Hal ini seperti yang di katakan oleh syaikh taqqiudin An–Nabbani bahwa : Berfikir tentang kebenaran tidak berbeda dengan berfikir dengan yang lain. Karena kebenaran adalah kesusuaian antara pemikiran dan fakta.berfikir tentang kebenaran adalah menjadikan keputusan yang telah dikeluarkan akan sesuai dengan fakta yang telah ditranfer ke dalam otak melalui alat indera. Kesesuaian inilah yang akan menjadikan makna yang ditunjukan oleh pemikiran sebagai suatu kebenaran. Pemikiran terebut harus sesuai dengan fitrah manusia.

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa hubungan antara objek dan subjek adalah kebenaran itu sendiri. Akan tetapi jika ada hubungan yang tumpang tindih atau ganda bukan berarti menghilangkan kebenaran awal. Dan kebenaran dalam islam adalah ketika menggunakan menentukan sesuatu dengan berfikir secara rasional atau berpikir alqur’an. Karena berpikir yang benar adalah adalah berpikir yang sesuai dengan dalil (bukti). Banyak nash alqur’an yang menjelaskan tentang seharusnya kita melihat bukti – bukti sebagai objek berfikir dan diyakini oleh sebuah konsep ideal subjek yang harus di buktikan realitasnya. Biasanya di sebut Aqidah Rasional bagi manusia.

Allah berfirman yg artinya :

“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? ( TQS. Ath – Thariq [86] : 5)”

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan (AL Ghosyiyyah [88]: 17)

Dan banyak lagi dalil alqur’an yang senada dengan ini, untuk menunjukkan bahwa manusia harus berfikir dengan menjadikan realitas ( fakta) sebagai objek yang harus di sesuaikan dengan konsep ideal.

Untuk memandang tentang pengetahuan awal di dunia ini allah telah berfirman :

“Allah telah mengajarkan (memberi informasi) kepada adam nama – nama benda seluruhnya, kemudian allah mengemukakannya kepada malaikat lalu berfirman, sebutkan kepadaku nama – nama benda itu jika kamu orang yang benar ! mereka menjawab, “ mahasuci engkau, tidak ada yang kami ketahui kecuali apa yang engkau ajarkan kepada kamii. Sesungguhnya engkau maha mengetahui dan maha bijaksana.” Allah berfirman, hai anak adam, beritahukan kepada mereka nama benda – benda itu!’ maka setelah adam menjelaskan kepada meraka nama – nama benda itu, allah berfirman bukankah sudah aku katakan kepadamu bahwa susung – guhnya aku mengetahui rahasia langit serta mengetahui apasaja yang kamu tampakkan dan apasaja yang kamu sembunyikan.” (TQS. Al – Baqarah [2] : 31 – 33).

Kesimpulan

Filsafat adalah ajaran yang sengaja didesain oleh barat untuk menghancurkan islam. Dan Islam kini ditarik dan dipaksakan untuk berfilsafat, sehinnga timbullah pemikiran HAM, DEMKRASI, PlURALISME,LIBERALISME,SEKULERISME dll. Semoga kita terlindungi dari segala pemikiran kufur tersebut.[GP]

————————————————

Berikut ini adalah Tanggapan dari Ahmad Samantho:

ISLAM AGAMA RASIONAL

Assalamu ‘alaikum, wr wb.

Tampaknya apa yang ditulis oleh ikhwan Umbara dari Hizbut Tahrir (?) di http://www.gemapembebasan.or.id yang menyimpulkan bahwa Filsafat adalah produk Barat untuk menghancurkan Islam adalah tanggapan prejudice (Su’udzon), paranoid dan kesimpulan yang tergesa-gesa yang disebabkan keawamannya sendiri dan bacaannya yang kurang terhadap filsafat.

Seharusnya kalau mau mengkritik sesuatu dengan benar, maka pelajarilah sesuatu itu dengan lengkap dan mendalam, baru kritiklah dengan hujjah (argumentasi) yang kuat.

Antum katakan bahwa semua bahasan filsafat berawal dari axiologi? Ini adalah keliru. Aksiologi, bukanlah tentang asal-usul segala sesuatu (Ontologi), axioloqi adalah filsafat terapan, yang akan melahirkan berbagai disiplin ilmu murni dan ilmu terapan seperti, etika, estetika, ekonomi, politik, ideologi, fisika, kimia, dll.

Jadi axiologi adalah tahap akhir dari berfilsafat, bukan yang pertama atau asal usul.


Kita umat Islam, memang harus mengkritisi filsafat barat, baik dari segi ontologi (tentang asal usul segala sesuatu: metafisika, kosmologi, theologi), maupun epistemologinya (kajian filososif tentang apa saja sumber-sumber ilmu, bagaimana caranya mendapatkan ilmu /metodologi, bagaimana memverifikasi (validasi), dan memfalsifiklasi (membuktikan kesalahan suatu ilmu), batasan-batasan ilmu, dan juga kita harus kritis terhadap Axiologi Filsafat Barat.

Sikap kritis kita terhadap filsafat Barat, bukan berarti kita harus tolak sepenuhnya mentah-mentah segala sesuatu dari filsafat Barat, karena walaupun ada cacat di sana-sini, tapi Filsafat Barat pun masih punya beberapa nilai-nilai kebenaran yang berakar juga dari rasionalitas yang murni dan kearifan atau kebijakan para Nabi Allah dari Timur (dari Mesir, dari Babylonia, India, dll). Bahkan bangsa-bangsa Barat menemukan khazanah filsafat Yunani (Greek) itu melalui perantaraan para ulama dan filosof Muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina (Aviciena), Ibnu Rushd (Averous), al-Khawarizmi, dll. Melalui kontak dengan para cemdikiawan dan para ulama filosof Muslimlah, Barat mendapatkan ruh untuk renaisansnya, dan spirit ilmiahnya sampai sekarang.


Kenapa para ulama dan para hukama/filosof Muslim mau mempelajari filsafat Yunani-Persia, Mesir, India dan China? Itu tak lain adalah karena terinspirasi oleh ajaran al-Qur’an (Kalam dan perintah Allah SWT) dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Betapa banyak ayat al-Qur’an (lebih dari 800 ayat) yang memerintahkan kita untuk banyak berfikir, menggunakan akal sehat dan merenungkan segala fenomena kejadian alam, masyarakat manusia, dan sejarahnya, untuk menemukan hakikat kebanaran dan kekokohan iman terhadap Tuhan Allah SWT dan memahami alam semesta sebagai sarana beribadah kepada-Nya.

Filsafat adalah Hikmah terpendam yang harus digali kaum Muslim dari manapun sumbernya. Ada 20 ayat al-Qur’an berbicara tentang Hikmah (Silahkan Anda pelajari via blogsite saya: http://www.ahmadsamantho.wordpress.com, atau situs resmi Islamic College for Advanced Studies (ICAS) – Paramadina University Jakarta: http://www.icas-indonesia.org.

Di Indonesia ini, garda depan markas filsafat Barat ada di STF Driyarkara Jakarta, dan FIB-UI, tapi kalau untuk Garda Depan Markas Filsafat Islam, maka datanglah dan belajarlah di ICAS Jakarta.

Islam adalah agama rasional, keimanan kita kepada Allah SWT, Yang Maha Pencipta, dan Yang Maha meciptakan, haruslah punya landasan intelektual rasional yang kokoh, yang akan mengantarkan kita kepada ketajaman intuisi qalbu dan keimtiman spiritual penuh cinta dan iman terhadap Hakikat al-Haqq: Allah SWT.

Terakhir, kalau mau mengalahkan, atau tidak mau dikalahkan oleh peradaban Barat (seperti kondisi umat Islam saat ini), maka kita harus menggali dan mengembangkan Filsafat Islam, dan juga mempelajari Filsafat Barat yang mau kita koreksi. Suatu peradaban umat manusia tidak akan tegak tanpa landasan filosofis dan ideologis yang kuat.[Ahmad Samantho]

http://ahmadsamantho.wordpress.com/2008/03/19/islam-agama-rasional/#more-377