Ikhwanul Muslimin dan Syi’ah
Di bawah ini akan kami ungkapkan pandangan beberapa tokoh organisasi Ikhwanul Muslimin terhadap upaya pendekatan dan persatuan di antara mazhab Ahlulsunnah dan Syi’ah.
Asy-Syahid Hasan Al-Banna telah menghidupkan pemikiran untuk mempersatukan Ahlulsunnah dan Syi’ah. Ia sendiri adalah peserta aktif Jama’ah Taqrib. Sehubungan dengan itu, Imam Hasan Al-Banna pernah berjumpa dengan pemimpin Syi’ah, Ayatullah Abdul Qasim Kasyani pada musim haji tahun 1948, dan terjadilah saling pengertian di antara mereka, seperti yang dinyatakan Abdul Muta’al Al-Jabri dalam bukunya Limadza Yuqtalu Hasan (Mengapa Hasan Al-Banna Dibunuh?). Al-Jabri, seorang murid Al-Banna, mengutip kata-kata Robert Jackson: ”Apabila laki-laki ini berusia lebih panjang, mungkin ia akan membawa banyak manfaat bagi negeri ini, terutama sehubungan dengan persetujuan antar Al-Banna dengan Ayatullah Kasyani, seorang ulama besar Iran, untuk mencabut akar-akar perpecahan antara Sunni dan Syi’ah. Mereka bertemu di Hijaz (Saudi Arabia) tahun 1948. Nampaknya mereka telah mengadakan pembicaraan-pembicaraan dan telah mencapai suatu pengertian dasar, tetapi Al-Banna segera dibunuh.” (Edisi I, hal.33)
Salim AL-Bahansawi, seorang pemikiran Ikhwanul Muslimin, dalam bukunya Al-Sunnah al-Muftara ’alayha (Sunnah yang Dipalsukan), menulis: ”Sejak terbentuknya Jama’ah at-Taqrib baynal Madzahib al-Islamiyyah yang di dalamnya Imam Al-Banna dan Imam Al-Qummi ( ulama Syi’ah Iran) turut serta, terjadilah kerjasama antara Ikhwanul Muslimin yang menghasilkan kunjungan Nawab Safawi (Pemimpin gerakan Fida’iyyin Islam Iran) ke Kairo dalam tahun 1954.” Ia juga mengatakan, ”Kerja sama semacam itu tidaklah mengherankan, tidak merupakan sesuatu yang aneh, karena kepercayaan-kepercayaan dari kedua kalangan (Sunni dan Syi’ah) itu memang mengantarkan ke sana.” (hal. 57, lihat juga hal.151).
Dr. Ishaq Musa Al-Husaini menulis buku al-Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslimin), tentang gerakan Islam modern yang berpusat di Mesir itu. Di dalamnya ia menunjukkan bahwa beberapa orang Syi’ah yang sedang belajar di Mesir telah bergabung dalam organisasi itu. Juga sudah diketahui secara luas bahwa di antara para pemuka ikhwan di Iraq terdapat banyak orang Syi’ah. Demikian juga bahwa pemimpin Ikhwanul Muslimin di Yaman Utara sampai tahun 1981, Abdul Majid Al-Zindani, adalah seorang Muslim Syi’ah. Di sana pun banyak Muslimin Syi’i menjadi anggota Ikhwanul Muslimin.
Ketika Nawab Safawi seorang pejuang Muslim dari Iran mengunjungi Sirya, ia bertemu dengan Dr. Mustafa Al-Siba’i, pemimpin Ikhwanul Muslimin di sana. Tatkala Al-Siba’i mengeluh kepada Safawi tentang beberapa pemuda Syi’ah yang telah bergabung dengan gerakan-gerakan nasional yang sekuler (bersifat duniawiah), pejuang dari Iran itu berkata dalam ceramahnya kepada sekelompok besar orang Syi’ah dan Sunnah: ”Barangsiapa hendak menjadi seorang (Syi’ah) Ja’fari sejati, hendaklah dia bergabung dengan Ikhwanul Muslimin.
Muhammad Ali Al-Dhanawi, dalam bukunya Kubra Al-Harakat al-Islamiyyah fil ’Ashr al-Hadits (Gerakan-gerakan Islam terbesar di jaman modern) mengutip kata-kata Bernad Lewis: ”Walaupun mereka (Fida’iyyin Islam) bermazhab Syi’ah, mereka percaya pada kesatuan Islam, sama besarnya kepercayaan kaum Muslimin Mesir, dan di antara mereka terjalin komunikasi yang sangat lancar. (hal. 150).
Ketika menyimpulkan beberapa prinsip Fida’iyyin Islam, Al-Dhanawi mengatakan: ”Islam merupakan suatu sistem kehidupan yang komprehensif (luas dan lengkap). Tidak ada sektarianisme (fanatik mazhab), antara Sunni dan Syi’ah, di kalangan kaum Muslimin.” Kemudian ia mengutip kata-kata Nawab Safawi: ”Marilah kita bekerja sama untuk Islam, marilah kita lupakan segala sesuatu selain perjuangan kita demi kehormatan Islam. Belum tibakah saatnya bagi kaum Muslimin untuk sadar dan menghilangkan perpecahan di antara Sunni dan Syi’i?”
Fat-hi Yakan menulis, dalam bukunya Mausuu’ah al-Harakah al-Islamiyyah (Ensiklopedia Pergerakan Islam), tentang kunjungan Nawab Safawi ke Kairo serta sambutan hangat yang penuh gairah dari Ikhwanul Muslimin. Tentang hukuman mati yang dijatuhkan pada Nawab Safawi oleh Syah Iran, ia menulis: ”Timbul reaksi keras terhadap keputusan hukum yang tidka adil itu. Massa Muslimin merasa terpukul ketika mendengar berita itu, karena mereka sangat menghargai perjuangan dan tindakan-tindakan heroik mujahid dari Iran ini. Kaum Muslimin berdemonstrasi menentang dan mengutuk keputusan hukum yang dzalim terhadap pejuang dan pahlawan yang mukhlis itu. Kematiannya dipandang sebagai suatu kerugian besar di jaman moderen ini.” (hal.163).
Nawab Safawi yang bermazhab Syi’ah itu oleh Ikhwanul Muslimin itu dicatat sebagai seorang syahid dari Ikhwanul Muslimin. Fat-hi Yakan memandang Nawab dan kawan-kawannya yang gugur dalam perjuangan Islam itu sebagai orang-orang yang ”tergabung dalam barisan para syuhada’ yang abadi”, dan bahwa ”darah mereka yang suci akan menjadi suluh yang menerangi jalan bagi generasi kesyahidan dan kemerdekaan yang datang.”
Dalam bukunya al-Islam, Fikr wa Harakah wa Inqilab (Islam, Pikiran, Gerakan, dan Revolusi), ia menulis: ”Sekarang, setelah Syah Iran mengakui Negara Zionis itu pada tanggal 23 Juli 1960 menjadi kwajiban bagi orang Arab untuk menyadari adanya Nawab dan saudara-saudara Nawab di Iran. Sayang, para penguasa Arab belum berbuat demikian, sehingga gerakan Islam sekarang mencari sokongan untuk menopang perjuangannya dari luar dunia Islam sendiri. Adakah Nawab lain di Iran sekarang?” (hal.56).
Dikutip dari Buletin Suluh, Edisi Khusus Menyambut Bulan Ramadhan, Terbitan Majlis Ilmu dan Zikir ”Al-Huda”, Gedong Sonorejo.
Coba baca statement di web Resmi Ikhwanul Muslimin…
http://www.ikhwanweb.com/Home.asp?zPage=Systems&System=PressR&Press=Show&Lang=E&ID=5370
Islamic Unity
With the recurrent fuss about doctrinal differences between Sunnis and Shiites, the Muslim Brotherhood considered that doctrinal differences in Islam don’t ban support on the basis that we are Muslims.
The Muslim Brotherhood mentioned that the Ga’fari Shiites are a group of Muslim communities, and there is a consensus on principles of doctrine, worship and manners, and they account for the great majority world’s Shiites, and if there is an amount of disagreement in ideology and opinions on a historical basis, this does not bring them outside the framework of Islam, and hence they brothers in the religion.
The 1940s witnessed an attempt to bring closer Islamic doctrines between the Sunnis and the Shiites; this was with the participation of Imam Hassan Al Banna- may Allah have mercy on him.
If some cite the doctrinal conflict in Iraq between the Sunnis and the Shiites to prove that there is a disagreement on a doctrinal basis, but this another matter attributed to historic actions of the ex-Iraqi regime and its negative attitude towards the Shiites and its aggression on Iran, in addition to Western and Zionist intelligence that seek to escalate the conflict and dismember Iraq.
kalau bisa sih tolong diterjemahin. hehehe..
Secara terjemahan bebas pernyataan resmi Ikhwanul Muslimin tsb berbunyi sbb :
1. Sekalipun selalu terjadi pertengkaran dan perbedaan dalam masalah penafsiran agama diantara Sunni dan Syi’ah, namun Ikhwanul Muslimin memandang bahwa pada dasarnya Sunni dan Syi’ah adalah sama-sama Muslim.
2. Ikhwanul Muslimin menganggap Syiah Jakfari yang merupakan mayoritas Syi’ah, sebagai bagian dari kaum muslimin sekalipun terdapat perbedaan historis dalam pemahaman ajaran Islam, namun Syi’ah Jakfari masih dalam koridor Islam dan dengan demikian mereka masih saudara seagama (Islam).
3. Pada tahun 1940-an Hasan Al Banna rahimakumullah telah memelopori usaha menjembatani perbedaan-perbedaan antara kedua kelompok ini untuk menumbuhkan saling pengertian.
4. Apa yang terjadi di Irak bukanlah semata-mata konflik doktrinal, tetapi lebih kepada faktor-faktor historis yaitu sebagai akibat dari perlakuan regim Saddam terhadap rakyat Irak yang Syi’ah dan agresi Saddam terhadap Iran. Selain itu berkaitan pula dengan ulah intelijen Barat dan Zionis yang menginginkan eskalasi konflik dan perpecahan bangsa Irak.
Semoga bermanfaat.
Saya jadi ngeh kenapa gerakan ini (Ikhwanul Muslimin) begitu dibenci sama Wahabi…
Man-man, ada pelurusan nih….
Aliran Syi’ah “Imamiyah Al-Itsa-’Asyariyyah” membawa beberapa penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan tersebut jelas disebutkan dalam referensi-referensi yang mereka miliki. Dalam artikel ini akan disebutkan beberapa penyimpangan aliran Syi’ah “Imamiyah Al-Itsna-’Asyariyyah” (inhirafu manhaj “Imamiyyah Itsna Asyariyyah”) berdasarkan referensi mereka sendiri.
A. Fatwa-fatwa Khomeini Tentang Aqidah dalam kitabnya Kasyful-Asrar[1]:
1. Meminta Sesuatu Kepada Orang yang Telah Mati Tidak Termasuk Syirik.
“Ada yang berkata, bahwa meminta sesuatu pada orang yang telah mati baik itu Rasul maupun Imam adalah syirik, karena mereka tidak bisa memberi manfaat dan madharrat pada orang yang masih hidup. Maka saya (Khomeini) katakan: Tidak, hal tersebut tidak termasuk syirk, bahkan meminta sesuatu pada batu atau pohon juga tidak termasuk syirik, walaupun perbuatan tersebut adalah perbuatan orang yang bodoh. Maka jika yang demikian itu bukanlah syirik apalagi meminta pada Rasul dan Imam-imam yang telah wafat, karena telah jelas dalam dalil maupun akal bahwa ruh yang telah mati malah memiliki kekuatan yang lebih besar dan lebih kuat dan ilmu filsafat pun telah membenarkan dan membahas hal tersebut secara panjang lebar.” (hal. 49)
2. Penyimpangan Abubakar dan Umar terhadap al-Qur’an.
“Disini saya katakan dengan tegas bahwa Abubakar dan Umar menyelisihi al-Qur’an dan mempermainkan Tuhan dan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal menurut hawa nafsu mereka dan bagaimana mereka berdua juga telah berbuat kezhaliman dengan melawan Fathimah putri nabi SAW dan oleh karenanya mereka berdua menjadi bodoh terhadap hukum ALLAH dan hukum agama.” (hal. 126)
“Kita juga melihat ketika ia (Umar ra) yang buta mata hatinya itu mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan kekafiran dan ke-zindiq-annya, yaitu penolakannya pada al-Qur’an surat an-Najm, ayat-3.” (hal. 137)
3. Dalil-Dalil Tentang Disyariatkannya Taqiyyah (Boleh Berdusta kepada selain orang Syi’ah):
“Dan kami tidak mengerti bagaimana mereka (ahlus-sunnah) menjauhi hikmah dan menyimpang karena hawa nafsu mereka, bagaimana tidak? Sedangkan TAQIYYAH adalah hukum akal yang paling jelas. Dan TAQIYYAH maknanya: Seorang manusia berkata dengan perkataan yang berbeda dengan kenyataannya atau melakukan perbuatan yang bertentangan dengan timbangan syariat karena menjaga darahnya, kehormatannya atau hartanya.” (hal. 148) “Maka termasuk bab taqiyyah jika kadangkala diperintahkan menyelisihi hukum-hukum ALLAH, sampai dibolehkan seorang pengikut Syi’ah berbeda dengan apa yang dihatinya untuk menyesatkan selain mereka (Syi’ah) dan agar mereka itu (selain Syi’ah) terjatuh dalam kebinasaan.” (hal. 148)
4. Mengapa Imamah (Aqidah tentang Imam yang Dua Belas -pen) Tidak Disebutkan dalam Al-Qur’an?
“Setelah aku jelaskan bahwa Keyakinan akan 12 Imam adalah ushuluddin (dasar aqidah Islam), dan bahwa al-Qur’an telah mengisyaratkan tentang hal tersebut secara tersirat. Dan aku jelaskan bahwa nabi SAW sengaja menyembunyikan ayat-ayat tentang Imamah dalam al-Qur’an karena takut al-Qur’an tersebut diselewengkan setelahnya, atau karena beliau SAW takut terjadinya perselisihan di antara kaum muslimin sehingga akan berdampak yang demikian itu terhadap aqidah Islam.” (hal. 149)
5. Khulafa Rasyidun adalah Ahlul Bathil
“Dan telah kukatakan beberapa potongan dari kitab Nahjul-Balaghah[2] yang menetapkan bahwa Ali ra berpandangan bahwa para Khulafa selainnya adalah bathil.” (hal. 186)
6. Penetapan Ratapan atas Husein dan Menjambak Rambut serta Merobek-robek Baju baginya setiap tahun (saat memperingati peristiwa Karbala -pen) sebagai Bagian dari ajaran Agama.
“Tidak ada dalam majlis tersebut kekurangan, karena semua itu adalah pelaksanaan perintah agama dan akhlaqiyyahnya dan tersebarnya fadhilah dan akhlaq yang paling tinggi serta aturan dari sisi ALLAH serta hukum yang lurus yang merupakan pencerminan dari madzhab Syi’ah yang suci yang ittiba’ pada Ali alaihis salam.” (hal. 192)
7. Wilayatul Faqih (Penetapan Kepemimpinan para Ulama Besar Syi’ah sampai saat Bangkitnya Kembali Imam ke-12 Syi’ah -pen)
“Syaikh ash-Shaduq dalam kitab Ikmalud-Din, dan syaikh ath-Thusiy dalam kitab al-Ghaybah, dan at-Thabrasiy dalam kitab al-Ihtijaj menukil dari Imam yang Ghaib (Imam ke-12 Syi’ah yang sekarang sedang menghilang -pen), sbb: Adapun hadits-hadits yang jelas maka hendaklah merujuk pada para periwayat hadits-hadits kami (syi’ah -pen), karena mereka semua adalah hujjahku atas kalian dan aku adalah hujjah ALLAH! Lalu kata Khomeini selanjutnya: Maka wajib atas manusia pada masa ghaibnya Imam (ke-12 tersebut -pen) untuk merujuk semua urusan mereka pada para periwayat hadits (syi’ah) dan taat pada mereka karena Imam telah menjadikan mereka itu hujjahnya.” (hal. 206) “Maka jelaslah dari hadits tersebut bahwa para Mujtahid adalah hakim dan barangsiapa yang menolak maka sama dengan menolak Imam dan barangsiapa menolak Imam maka berarti menolak ALLAH dan menolak ALLAH berarti syirik kepada-NYA.” (hal. 207)
B. Ushul Fiqh Menurut Syi’ah[3]:
1. Bahwa Dalil Sunnah (menurut Syi’ah -pen) adalah Hadits Nabi SAW dan Hadits dari Imam Syi’ah Yang 12 Orang
Dalil Sunnah (menurut Syi’ah -pen) definisinya = Perkataan (qawlan) dari AL-MA’SHUM, perbuatan (fi’li) dan persetujuannya (taqrir). Definisi AL-MA’SHUM (menurut Syi’ah -pen): Semua yang ditetapkan kema’shumannya dengan dalil, yaitu nabi SAW dan 12 orang Imam ahlul-bait. (hal. 22)
Adapun kehujjahan as-sunnah yang bersumber dari ahlul-bait baik perkataan mereka, perbuatan mereka maupun persetujuan mereka maka dikembalikan keimaman mereka, kema’shuman mereka dan kebenaran mereka SAMA DENGAN KEDUDUKAN nabi SAW. (hal. 23)
2. Dirasah Sanad Hadits Menurut Syi’ah:
a. Pembagian Hadits dikelompokkan dari sisi banyak sanadnya dan hubungannya dengan para ma’shum/al-ma’shumiin (yaitu nabi SAW dan 12 Imam Syi’ah -pen) (hal. 26):
i. Hadits yang Terpaut Hati dengan Para Ma’shum (yang dibagi lagi menjadi mutawatir dan muqtarin)
ii. Hadits yang Tidak Terpaut Hati dengan Para Ma’shum (yaitu hadits ahad)
b. Pembagian Hadits dari sisi penerimaannya (mu’tabar) (hal. 29-30):
i. Hadits Shahih (menurut Syi’ah -pen): Yaitu hadits yang seluruh periwayatnya adil dan sesuai dengan aqidah Syi’ah 12 Imam.
ii. Hadits Mawtsiq: Yaitu yang seluruh periwayatnya tsiqah dari muslimin secara umum (ahlus-sunnah -pen), atau sebagiannya dari tsiqat muslimin dan sebagian lagi dari perawi yang adil dari Syi’ah 12 Imam.
iii. Hadits Hasan: Yaitu yang kumpulan perawinya orang yang kurang kuat dari ulama hadits, atau dari percampuran antara yang adil yang tsiqat dan yang kurang kuat, atau dari percampuran antara yang adil dengan yang kurang kuat, atau yang tsiqat dengan yang kurang kuat.
3. Ijma’ Menurut Syi’ah (hal 76):
a. Yaitu kesepakatan jama’ah ulama yang salah seorangnya adalah Imam yang ma’shum (salah seorang dari 12 Imam Syi’ah -pen).
b. Maksudnya adalah tegaknya ijma’ yaitu jika para ulama tersebut mampu menyingkap makna salah satu pernyataan Imam yang ma’shum dalam suatu masalah.
c. Pembagian Ijma’ (hal. 77):
i. Ijma’ Muhshal: Yaitu semua ijma’ yang dihasilkan oleh wilayatul faqih dari dirinya dan sesuai dengan perkataan para mufti.
ii. Ijma’ Manqul: Yaitu semua ijma’ yang tidak dihasilkan oleh wilayatul faqih dari dirinya tetapi hanyalah dinukil darinya oleh para fuqaha yang lain.
saya menemukan sumber copy paste Anda dari
http://www.al-ikhwan.net/index.php/aqidah-daiyah/2007/penyimpangan-aliran-syiah-imamiyah-al-itsna-asyariyyah/
Baca buku buku pergerakan ikhwan di ww.tokobukuikhwan.com