Pentingnya integrasi suni-syiah dirujukkan pada premis teologis yang menekankan pada aneka kesatuan yang salah satunya adalah kesatuan umat, bahkan kesatuan manusia. Perbedaan yang ada dalam suni-syiah sedianya disikapi secara jernih dan proporsional.

Bulan lalu, Indonesia menggagas Pertemuan Bogor melibatkan kelompok suni dan syiah internasional dari 12 negara, yaitu Iran, Irak, Mesir, Jordania, Malaysia, Lebanon, Pakistan, Suriah, Turki, Arab Saudi dan Indonesia. Pemerintah RI berperan sebagai fasilitator dan penggagas, sedangkan ulama RI yang turut dalam konferensi berperan sebagai moderator.

Di antara para undangan antara lain adalah tokoh syiah Iran, Syekh Mohammad Mehdi Taskiri; Abdalsalam Al-Abadi mantan menteri agama Jordania; Mahmood Al Sumai Dai, tokoh suni Irak; Ekmeleddine Ihsanoglu, sekjen OKI; dan Dato` Seri Tan Sri Sanusi Junid yang merupakan rektor Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia.

Sementara itu, delegasi dari Indonesia adalah Ma`ruf Amin (MUI), Mahfur Usman (NU), Syafii Maarif (Muhammadiyah) , Yunahar Ilyas (Muhammadiyah) dan Jalaludin Rahmat (cendekiawan Muslim). Tujuan pertemuan ini adalah menciptakan kesatuan pandangan antara pemimpin umat Islam, baik dari kelompok Sunni maupun Syiah, sehingga dapat memberikan dorongan politik di Irak yang masih dilanda konflik sektarian.

Integrasi suni-syiah menjadi sangat penting, ketika kondisi sosial-politik umat Islam dilumuri oleh berbagai perselisihan. Di Irak, kondisi ini menjadi sangat kasat mata, dimana isunya sekarang seperti “dilarikan” pada pertentangan syiah-suni.

Bagi pakar tafsir M Quraish Shihab, pentingnya integrasi suni-syiah dirujukkan pada premis teologis yang menekankan pada aneka kesatuan yang salah satu diantaranya adalah kesatuan umat, bahkan kesatuan manusia. Dia melihat, perbedaan yang ada dalam suni-syiah sedianya disikapi secara jernih dan proporsional. Perbedaan itu pada akhirnya akan bertemu dalam satu wadah, karena semua yang berbeda itu pada hakikatnya ingin mengikuti tuntutan agama. “Namun, kaburnya argumentasi dan intrumentasi kepentingan tertentu, maka perbedaan itu lebih berdampak negatif.

Dalam buku terbarunya, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, ia berkeyakinan perbedaan yang hakiki adalah yang lahir dari hawa nafsu, atau dengan kata lain sikap yang lahir dari subjektifitas yang berlebihan. Hawa nafsu dan subjektifitas yang berlebihan yang terlibat dalam kegiatan ilmiah atau keagamaan itu, akan menghasilkan konklusi yang keliru, salah, bahkan dalam istilah agama disebut dhalâl, yakni kesesatan.

Menurut, Muhtar S Syihabuddin, pustakawan Pusat Studi Al-Quran (PSQ), perbedaan suni-syiah yang direkam dalam buku ini, meliputi masalah rukun iman dan Islam, sikap terhadap para sahabat Nabi SAW, raj’ah, badâ’, dan taqiyah. Begitu juga masalah furu’ (rincian ajaran) yang meliputi shalat, zakat, puasa, haji, pernikahan, talak, dan perceraian. Tidak ketinggalan tema krusial seperti imamah kaitannya dengan pemerintahan khalafaur rasyidin dan tuduhan atas kebedaan Alquran versi syiah dari kalangan suni. “Di antara suni-syiah, terdapat kesamaan dalam prinsip-prinsip ajaran, sedang dalam rinciannya terdapat perbedaan,” ujarnya mengutip isi buku itu.

Menurut dia, dalam buku itu, Quraish berusaha menjernihkan perbedaan suni-syiah tersebut. Pertama, betapapun seseorang berusaha untuk bersikap objektif, namun bisa saja terjadi bias subjektif sebagai dampak dari kehidupan rumah tangga, latar belakang pendidikan, serta lingkungannya (h. 2). Kedua, mengembangkan sikap yang proporsional ketika menyuguhkan satu pendapat (h. 6). Ketiga, kalau kita mempelajari pemikiran seseorang atau kelompok, maka tidak jarang ditemukan perkembangan atau perubahan (h 16). Keempat, untuk menjalin hubungan harmonis antara pihak-pihak yang sebelumnya berselisih, diperlukan saling percaya. Kelima, tidak memukul rata setiap pemikiran syiah.

Sumber: JCE